Wednesday, February 13, 2008

PEOPLE: Warsito


Analitical researcher to volume tomography

Multa Fidrus
The Jakarta Post, Tangerang


Warsito was one of 16 Indonesian scientists selected by the Indonesia Institute of Sciences to deliver a presentation on his invention, volume tomography, at a meeting with professor Douglas Dean Osherff, the 1996 Nobelist for physics.

The meeting, titled Toward Bright and Brilliant Indonesians, was held in Jakarta to mark the start of Indonesia Science Year in November last year. Tomography is defined as imaging by sections or sectioning.
Warsito is the only scientist in the world who has managed to develop tomography and create volume tomography, an analytical tool that can be used in four dimensions and has industrial applications.The tool can examine refinery pipes at oil wells and pipelines in four dimensions.
"Refinery pipes at oil wells usually contain oil mixed with sand, soil and gas. With the assistance of the tool, we can see how much oil is in refinery pipes and oil pipelines at all oil wells across the country, from Jakarta," he said.
He said that with the tool, oil firms can save much time and expense. According to Warsito, the tool works with the help of a sensor installed around refinery pipes and pipelines. The sensor is connected to a series of electronic devices that are also connected to a computer.
The computer will processes information from the refinery pipes and pipelines using algorithms that will, in turn, form a four-dimensional image. He said that volume tomography can also be developed for airport security and the pharmaceutical, petrochemical, food, medicine and health industries since he just needs to modify the software.
"Volume tomography can clearly monitor what is concealed behind clothing and even inside human organs for an airport security system." For health applications, it can replace magnetic resonance imagery and CT scanners that produce radiation, and are both slow and expensive," he said.
Volume tomography has no negative impact since it only works with electricity, and is quick and cheap.
Warsito initiated his research by developing ultrasonic tomography to examine voice waves at a bio-reactor at Shizuoka University in Japan, where he completed his doctorate in 1998.
Ultrasonic tomography is still being used for basic research at the outstanding Japanese university as of today. While working as a researcher and lecturer at the university, Warsito continued to do research into developing volume tomography until he was elected to deliver a presentation on ultrasonic tomography at a world conference in Amsterdam, the Netherlands, in 1999.
Afterward, he met professor LS Fan, chairman of the Industrial Research Consortium (IRC) at Ohio State University in the United States. Two months later, he accepted Fan's offer to move to the U.S. and join some 15 other world-class researchers at the IRC.
In fact, Warsito overcame Fan's problem with reactor engineering and made a prototype of volume tomography in 2003.
His invention was patented in the U.S. in 2001. Small wonder he was elected outstanding postdoctoral researcher by Ohio State University in 2001 and again by the American Institute of Chemists Foundation in 2002.
Warsito's presence as the only Indonesian researcher at the IRC could have contributed significant changes since the volume tomography he designed can save much time and cost if it is applied in industry.
Exxon Mobil, BP Oil, Shell, Conoco Village, Dow Chemical and Mistubishi Chemical are among the global firms that have indirectly started volume tomography applications in their production, including the U.S. Department of Energy, for Morgantown National Laboratory.
Warsito was also elected a key lecturer on the process of tomography at the World Conference in Banff, Canada, in 2003 and in Aizu, Japan, in 2005. The conference also elected him a plenary lecturer on particle technology for powder processing, nanotechnology, chemical processing and oil processing.
"As of now, I'm still focusing my research on volume tomography for industrial applications and it is still being perfected to achieve high levels of accuracy," he said, adding that the tool was expected to be introduced to the public within four months.Warsito was born in Karang Anyar, Surakarta, Central Java, in 1967.
He spent his childhood through high school graduation in his hometown. Just one month after he started his studies at the school of chemistry at Gajah Mada University, Yogyakarta, in 1986, he went to Shizuoka University on a scholarship from the Agency for the Assessment and Application of Technology (BPPT).After finishing his studies in electronics he continued postgraduate studies at the same university while working as a researcher and lecturer there.
He then obtained a scholarship from the university to continue with his doctorate.Warsito, a father of four sons from his marriage with Rita Chaerunissa, from Tangerang, refused the American citizenship offered to him although, financially, he is unlucky being an Indonesian scientist.
Along with several fellow scientists, he established the Indonesian Technology Scientist Community (MITI) to improve technology and science in the country and build cooperation with foreign institutes to do research.
Besides research, Warsito also teaches at the school of MIPA and Physics at the University of Indonesia, guiding postdoctoral students from Ohio State University, Washington State University and Shizuoka University.
Warsito plans to produce volume tomography in Tangerang while looking for investors and has the exclusive right to sell the tool in the U.S.A Canadian pharmaceutical company has ordered the tool via its cooperation with Ohio State University.
Few of the many journalists who daily use his Internet kiosk at the Modern Land housing complex, Tangerang, realize that Warsito is a world-class scientist doing research into volume tomography on the second floor.
"I am hopeful my invention will be accepted by the government; otherwise I will not come back because life in the United States is so much more promising," he said. (March 25, 2006)

No comments:

FEEDER

Keladi Tikus Obat Kanker

Keladi Tikus Obat Kanker

Kanker Bukan Lagi Ancaman

Penyakit kanker sudah tidak lagi jadi ancaman yang mematikan bagi kehidupan manusia sebaba para penderita kanker kini memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “Keladio Tikus” (Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lainnya.

Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia.

Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Chris Teo K.H, yang juga pendiri Cancer Care Penang dari Universiti Sains Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.

“Sebelum menjalani kemoterapi, dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,” jelas Patoppoi.
Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker.

“Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysiauntuk membeli teh tersebut,”ujar Patoppoi yang juga ahli biologi.

Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996.

“Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia ,” kenang Patoppoi sambil tersenyum.

Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya.

Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu.

Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi.

Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat.

Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu.

Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni.

Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta ,” kata Patoppoi.

Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi.

Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.

”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa.

Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasik an bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia .

Kemudian Dr . Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia.

Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang.

Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut.

Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo.

Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos.

Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif.
Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang. Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia .

Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya.

Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia , yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta , telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo.

Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. Sumber (Milis Alumni Smandel)

Visitor's Count