Monday, February 4, 2008

PEOPLE : Second. Brig. Heri Prastowo

Heri Prastowo cracks down on drugs

Multa Fidrus
The Jakarta Post, Tangerang

Walking on a pair of crutches, policeman 1st Brig. Heri Prastowo dragged his feet into the Tangerang District Court to testify as a key witness against Akuang, a coral reef exporter tried for drug possession last week.

"I can't stand staying home all day long, and I can't wait to go back to work as usual, but my knee...," Heri told The Jakarta Post on April 2 at the District Court.

Heri, an officer with the Tangerang Police, broke his right knee as he tried to intercept a truck carrying 955 kilograms of shabu-shabu (crystal methamphetamine).

That was in August 2006, when motorcycle taxi (ojek) driver Ncang arrived around 2 a.m. to the Teluk Naga district guard post, where Heri was on duty, and reported seeing a group of people engaged in suspicious activity in front of a construction material kiosk. He said the group was transferring small boxes from a Toyota Avanza into a small box truck on Jl. Raya Kali Baru.

"As an officer in charge at the guard post that time, I had to be responsive and follow up on any reports from community members," Heri told the Post.

Acting on the tip from the ojek driver, Heri got on his motorcycle and first went to Kosar, asking the village security chief to accompany him.

When they reached the street indicated by Ncang, the two observed the situation from a distance.

"At first, I thought the box truck was only transferring building materials. But when we approached it, the driver started the engine and moved," he said.

Heri and Kosar followed the truck until it stopped in a dark area near the Kali Baru bridge, but nobody got out of the vehicle.

Kosar excused himself temporarily to tend to bodily needs, and it was during this interlude that the box truck moved again and passed right in front of Heri.

So he stopped the truck and asked the driver for the vehicle's documents.
"There were two men in the vehicle," he recalled. "The one behind the wheel pulled out an envelope and handed it to me but I rejected it."

Heri realized that the driver was trying to bribe him. He then ordered the two to open the cargo box, but they reportedly answered in English, "No key, no key". Because the policeman and the men in the truck could not communicate properly, Heri told the driver to follow him to the police station.

As Heri, on his motorcycle, led the box truck toward the police station, the Avanza he had seen earlier overtook him. At the same time, the box truck rammed into him from the rear, breaking his right leg.

Heri found he could not get up and the truck disappeared. He contacted the police station for back-up. Local residents approached to help, and took him to a nearby house for a traditional bone massage. In the morning, he was taken to a hospital for further treatment.

"I recognized the box truck from when a number of local residents attacked PT Sarana Putra, a coral reef exporting company owned by Akuang," he said, adding that the police found the truck, with its entire load of drugs, abandoned behind the Teluk Naga District Office.

On Aug. 29, Tangerang Police confiscated the crystal methamphetamine worth Rp 600 billion -- it was the second biggest drug bust in Indonesian history, following the November raid of a drug-manufacturing factory in Cikande, Serang, Banten.

The drug was packed in 95 packing cartons inside the truck, each carton holding five bars of crystal meth weighing 2 kilograms each.

In addition, police seized a map of Jakarta and Tangerang, two walkie-talkies, one satellite phone and one Global Positioning System device.

Following the discovery of the truck, Tangerang Police traced the vehicle's ownership and arrested 42-year-old Samin Iwan, alias Akuang bin Kasmat.

Tangerang Police arrested 13 suspects for questioning, including Akuang and his assistant Boim Santosa, his truck driver Romli Hasan and Udin Kasman, the captain of the vessel used to transport the drugs from a cargo ship anchored at sea to Teluk Naga.

During the course of their investigation, Tangerang Police uncovered three Hong Kong citizens -- identified only as Ahua, Mr. Chen and Mr. Lou -- suspected of active involvement in the crystal meth deal. The three are thought to be members of a international drug syndicate that intended to distribute the 955 kg of shabu-shabu. Police, however, were unable to track down the three, who remain at large.

Meanwhile, Akuang, Boim, Romli and Udin were indicted for drug trafficking and were tried at the district court.

Akuang owns PT Sang Putra, which provided the truck for transporting the crystal meth, and the coral reef exporting company is believed to be a front for the drug business.

As a reward for his contribution to the seizure of the drug, National Police chief Gen. Sutanto promoted Heri from the rank of First Brigadier to Chief Brigadier.

Meanwhile, Jakarta Police chief Insp. Gen. Adang Firman awarded him a new motorcycle -- but not the ojek driver who provided the initial tip.

Born in 1973 in Banyumas, Central Java, Heri graduated high school in Karang Anyar, Kebumen, then applied to the State Police Academy in Cisarua, Bogor, West Java, where he was accepted.
Following graduation from the academy in 1994, Heri was assigned to the Tangerang Police headquarters, then transferred to the Teluk Naga subprecinct in 2002. He is also father to two children, 8-year-old Danang and 2-year-old Pasha, from his marriage to Nursela.

Nine months since the bust, Heri is still unable to walk without the aid of crutches and attends regular check-ups for his knee. He cannot yet ride his new motorcycle; nor can he don the uniform that bears his new rank.

Commenting on the possibility that his knee might be disabled, Heri said he felt lucky because he could do something to help the government fight drug abuse -- and never mind that he broke his leg in the process.

"I have to take all risks that come with my job and this is only the beginning -- and my family is aware of this," he said.

No comments:

FEEDER

Keladi Tikus Obat Kanker

Keladi Tikus Obat Kanker

Kanker Bukan Lagi Ancaman

Penyakit kanker sudah tidak lagi jadi ancaman yang mematikan bagi kehidupan manusia sebaba para penderita kanker kini memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “Keladio Tikus” (Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lainnya.

Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia.

Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Chris Teo K.H, yang juga pendiri Cancer Care Penang dari Universiti Sains Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.

“Sebelum menjalani kemoterapi, dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,” jelas Patoppoi.
Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker.

“Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysiauntuk membeli teh tersebut,”ujar Patoppoi yang juga ahli biologi.

Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996.

“Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia ,” kenang Patoppoi sambil tersenyum.

Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya.

Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu.

Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi.

Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat.

Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu.

Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni.

Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta ,” kata Patoppoi.

Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi.

Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.

”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa.

Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasik an bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia .

Kemudian Dr . Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia.

Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang.

Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut.

Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo.

Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos.

Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif.
Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang. Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia .

Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya.

Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia , yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta , telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo.

Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. Sumber (Milis Alumni Smandel)

Visitor's Count