Thursday, February 14, 2008

ENVIRONMENT: Taman Kota BSD


Creating more parks brings BSD back to nature

Multa Fidrus
The Jakarta Post, Tangerang

The back-to-nature trend seems to have started to take root in the Bumi Serpong Damai (BSD) satellite city in Serpong, Tangerang.

It is not only a trend that goes along with the cosmopolitan lifestyle in big cities around the world but a philosophy that has made its way into complex residents' daily lives with affirmative action of the housing complex management.

A worsening urban environment, increasingly frustrating traffic jams and the pressure from heavy workloads at office and school have caused many city residents to suffer from depression, stress and a variety of physical and mental ailments amid the soaring costs of medical treatment.

PT BSD, a major housing and property developer in Greater Jakarta, is aware of this and has managed to integrate dwellings with greenery and gardens.

"Bringing comfort to mind and body to metropolitan city residents, who mostly living in a worsening urban environment is not easy and nor is it without cost," PT BSD corporate communication general manager Dhony Rahajoe told The Jakarta Post recently.

He said that a healthy home means healthy occupants; and a healthy environment means healthy residents.

"In the present economic crisis, residents need environmentally friendly cost-efficient ways to create a healthy lifestyle. That's the reason why we earmarked 10 hectares of land for city parks," Dhony said.

There are two large parks in the satellite city.

City Park I was built in 1992 on three hectares of land near the Puspitaloka and Giriloka clusters, right in the heart of the complex. City Park II, which covers seven hectares of land near the BSD Techno Park, was completed in June and was opened to the public by the State Minister for the Environment Rachmat Witoelar.

Trees and plants throughout the parks will provide fresh air for the satellite city, which functions as a healing balm amid unhealthy modern life not only for the complex residents but also visitors from outside the complex.

"The shady leaves of various plants in the parks bring cheerfulness, provide mental therapy and evoke beautiful memories for families and couples spending time in the parks," Dhony said.

With adequate parking space, playgrounds for children to play, jogging tracks, benches and toilets, many complex families and couples have a regular schedule to visit to the parks in the morning, afternoon or on holidays.

"More than 80,000 trees are growing in the parks. Building the parks is an inseparable part of the city's development program. We hope to see the BSD develop into a dynamic and environmentally friendly satellite city," he said.

He said the recent natural disasters in several regions had served to remind people about the need for conservation efforts.

More than 15,000 residents calling themselves "Tree Lover Families" took part in planting trees around their houses through an annual event themed: Make the earth green, the sky blue; and protect the water.

Rachmat Witoelar praised the much-needed greening program in the housing complex. "I have visited housing complexes in many big cities across the country but only BSD has designated green areas for the sake of residents' health," said the minister in a recent visit to the city.

Banten acting governor Ratu Atut Choisiah, who planted a tree in Park II with the minister, applauded BSD's efforts to protect the environment. "I hope that all housing complex developers across the province follow BSD's example," she said.

Rachmat said developers should not use properties solely for commercial purposes.
Calls for greenery efforts stem from concerns that the rapid pace of development and the increasing spread of residential areas have taken their toll on the land in Tangerang.

Paddy fields and orchards have given way to shopping plazas and industrial buildings. Lakes and swampland have been turned into housing estates and office compounds.

"We hope that BSD management will leave the parks undisturbed and the local administration will protect them as a catchment area for the city," Sutisna, a BSD resident and a regular visitor to the park told the Post.

Lestari said that everyone must take good care of the parks by keeping waste and garbage out.
"Creating city parks is the only way to restore the natural condition amid unhealthy modern living and all parties have to support the annual tree cultivating program organized by the developer," she said.

The parks can function as a nature laboratory that provides sources of biodiversity; city lungs that absorb carbondioxide and produce oxygen; and a catchment area that protects soil fertility.
Besides providing people with recreational and sporting facilities, the parks can also be used for scientific research and education. (November 21, 2006)
printer friendly

No comments:

FEEDER

Keladi Tikus Obat Kanker

Keladi Tikus Obat Kanker

Kanker Bukan Lagi Ancaman

Penyakit kanker sudah tidak lagi jadi ancaman yang mematikan bagi kehidupan manusia sebaba para penderita kanker kini memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “Keladio Tikus” (Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lainnya.

Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia.

Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Chris Teo K.H, yang juga pendiri Cancer Care Penang dari Universiti Sains Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.

“Sebelum menjalani kemoterapi, dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,” jelas Patoppoi.
Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker.

“Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysiauntuk membeli teh tersebut,”ujar Patoppoi yang juga ahli biologi.

Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996.

“Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia ,” kenang Patoppoi sambil tersenyum.

Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya.

Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu.

Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi.

Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat.

Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu.

Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni.

Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta ,” kata Patoppoi.

Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi.

Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.

”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa.

Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasik an bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia .

Kemudian Dr . Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia.

Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang.

Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut.

Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo.

Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos.

Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif.
Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang. Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia .

Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya.

Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia , yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta , telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo.

Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. Sumber (Milis Alumni Smandel)

Visitor's Count