Thursday, February 14, 2008

ENVIRONMENT: Illegal Sand Quarrying



Sand quarrying raises tempers, damages
Multa Fidrus
The Jakarta Post, Tangerang

Simpang Kampong, a small coastal village in Mauk district in the north of Tangerang regency, has a seemingly inexhaustible supply of sand.

Covering a few hectares, dozens of people, every day, illegally quarry sand there. These people, who work in groups of five to 10, come from neighboring villages such as Marga Mulya, Ketapang, Tanjung Anom and Karang Serang.

The quarriers, who dig up to 10 meters into the ground and create deep holes as large as a football pitch, seem to be unconcerned about the possibility of a landslide burying them alive.

Making a quick profit is the only thing on their mind. They don't care at all, even though they realize that their activity has damaged the environment and disrupted irrigation for farmers.

"It's too dangerous for you to enter the quarry. Workers will attack any journalist who tries to enter and take pictures," Sarmili, a local, told The Jakarta Post recently.

The Post observed several small channels on the floor of the large hole, where workers move sand with the help of a powerful water jet. A motor blows the sand from the dredging site onto the ground where dozens of workers and trucks await.

Quarrying, Sarmili says, has resulted in the erosion of more than 10,000 cubic meters of land in the village, on which rice was formerly grown.

"We have repeatedly filed complaints with the district office over the dredging, but it's all to no avail because local officials are bribed to look the other way by the operation's owner," he said.

Hundreds of residents from Tegal Kunir Lor, Banyuasin, Ketapang, Marga Mulya villages and Kampong Simpang have repeatedly protested the operation because it has disrupted irrigation in the past three years.

The villagers' main source of income is agriculture. When their protests were ignored, angry residents attacked workers at the mine, which is owned by Jakarta-based businessman Herman Wijaya.

They set fire to the workers' dormitory and destroyed pipelines and machines in April 2004. The police then arrested six local residents following a brawl with workers during the assault.

They were charged with inciting villagers to attack the mine workers and destroy on-site facilities, although two villagers were attacked by the workers and were rushed to hospital with machete wounds.

Sukwadi, from Marga Mulya, said that the sand dredging operation had also changed the ecosystem and disrupted ground water supply in the village since it began in 2000.

"The miners have violated Bylaw No. 20/2004 on public order and security. But they have continued their operations, despite forcible closure by the administration," he said.

Tangerang regent Ismet Iskandar issued written orders to the public order agency to close down unlawful sand quarries in Cisauk, Curug, Legok and Kresek districts, but business is still as usual at present.

"This is a matter of basic survival; we need money to feed our families," quarry workers replied angrily when the Post asked them why they continued.

One of them, Usman, 28, is from Ketapang village. He began digging for sand in 2001. Before that he was a fisherman, but fuel price increases caused him to shift to sand quarrying to keep body and soul together.

"If the Tangerang regental administration bans quarrying and closes the site here we won't have any source of income. We make only Rp 15,000 to Rp 20,000 a day -- just enough to buy three kilograms of rice," he said.

Work at the site usually runs from 8 a.m. to 5 p.m. every day. The sand is sold to a middleman for Rp 50,000 for a small truckload and Rp 150,000 per medium-sized load. Each person working at the site earns an average of Rp 20,000 a day.

The middleman then sells the sand to another middleman for Rp 75,000 to Rp 125,000 per small load and Rp 175,000 to Rp 250,000 per medium truckload.

"I sell the sand at Rp 75,000 per cubic meter. Sometimes I can sell four truckloads a day. Recently, demand has been quite low. I hire five men to carry the sand. Each is paid Rp 10,000 a day," said Samrah, 45, a middleman.

It is clear that the quarrying has damaged the environment. This could also lead to devastating landslides, particularly for those living in neighboring villages.

It is feared that if the operation continues, farmers living near the area will suffer from water shortages and many wells used by locals will dry up.

Environmental damage caused by quarrying is a hot topic of debate at plenary meetings of the Tangerang regental legislative council. The council tends to blame the administration for being too soft in dealing with the quarrying problem.

However, the administration argues that it cannot do much because the people involved in quarrying are poor and are simply trying to survive.

Head of the regental public order agency Odang Masduki has his own explanation as to why nothing is being done to put a halt to the illegal activity across the regency.

"We closed the site six times between 2004 and this year. We erected a gate at the entrance but the quarrying continues apace. We are powerless against hundreds, possibly thousands, of illegal quarriers. It all depends on the land," he said.

It seems that the local administration has yet to find a way to address the problem of environmental damage in its area. Instead, it is too busy blaming others. (September 12, 2006)

No comments:

FEEDER

Keladi Tikus Obat Kanker

Keladi Tikus Obat Kanker

Kanker Bukan Lagi Ancaman

Penyakit kanker sudah tidak lagi jadi ancaman yang mematikan bagi kehidupan manusia sebaba para penderita kanker kini memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “Keladio Tikus” (Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lainnya.

Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia.

Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Chris Teo K.H, yang juga pendiri Cancer Care Penang dari Universiti Sains Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.

“Sebelum menjalani kemoterapi, dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,” jelas Patoppoi.
Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker.

“Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysiauntuk membeli teh tersebut,”ujar Patoppoi yang juga ahli biologi.

Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996.

“Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia ,” kenang Patoppoi sambil tersenyum.

Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya.

Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu.

Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi.

Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat.

Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu.

Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni.

Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta ,” kata Patoppoi.

Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi.

Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.

”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa.

Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasik an bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia .

Kemudian Dr . Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia.

Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang.

Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut.

Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo.

Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos.

Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif.
Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang. Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia .

Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya.

Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia , yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta , telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo.

Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. Sumber (Milis Alumni Smandel)

Visitor's Count