Thursday, February 14, 2008

ENVIRONMENT: Garbage Composting in BSD


Garbage can be lucrative if handled properly
Multa Fidrus
The Jakarta Post, Tangerang

Although it is unsightly and smelly, garbage is not without its uses. Indeed, it can be a source of money and even help to conserve the environment as long as there is proper awareness and the goodwill to handle it properly.

Take the efforts of PT Bumi Serpong Damai (BSD), a major developer that manages the largest housing complex in Serpong, Tangerang regency.

The company has not merely built luxury homes and developed one-third of the 6,000 hectares it has acquired into a commercial area; it has also paid attention to long-term solutions for the handling of domestic waste, which can have serious health and safety implications.

BSD sees integrated waste treatment as the solution, a combination of recycling, composting, incineration and sanitary landfill: Waste collected from the source is separated and treated on site, while the remaining waste goes into a sanitary landfill.

Methane gas generation, which would normally make a normal landfill unsafe as a building site, can be put to use as an alternative energy source. The remaining residue from recycling and composting, meantime, can be burned in two huge incinerators.

The landfill has layers of sand to keep disease-carrying insects away, and pipes to carry away water, along with methane gas given off by the breakdown of solid waste.

Using a simple mantra -- reduce, reuse and recycle -- BSD now produces an average 1.5 tons of organic fertilizer per day from garbage it collects from homes.

BSD built a Rp 5 billion integrated waste treatment facility on a three-hectare plot on Jl. Raya Cisauk in 1992. Two huge incinerators that it operates can process 10 cubic meters of rubbish at once.

"As of today, the organic fertilizer we produce here is still for BSD's use only," Steve Mawengkang, head of PT BSD Asset Maintenance and Corporation told The Jakarta Post recently.

He said the market price of the fertilizer ranged from Rp 700 to Rp 1,000 per kilogram but it was actually sold at only Rp 400 per kilogram since the buyer is a BSD partner company that manages all existing parks in the complex.

"With this facility in operation, we expect zero growth for garbage. But the obstacle we face is that we cannot afford to operate the incinerators since fuel prices increased late last year," he said.

He added that BSD city, with a population of over 100,000 people, produces at least 150 cubic meters of garbage per day, 50 percent of which could be transformed into organic fertilizer.
"Twenty percent of the production is picked up by scavengers for recycling and the rest is burned in incinerators," he said.

Budi Setiawan, head of the integrated waste treatment operation, said the operational cost of the facility was up to Rp 45 million per month while the monthly revenue from the sale of organic fertilizer was not more than Rp 18 million.

"It means that BSD still has to provide support by as much as Rp 27 million for the operation of the facility each month," he said, adding that the composting process can take a month.

The Post observed that soon after BSD dump trucks unloaded trash, several workers assisted by eight scavengers separated organic and nonorganic trash before it was put onto a rototiller modified to shred trash.

The already processed organic waste was then piled up on the floor, forming several mounds in a large warehouse for month-long fermentation. The next stage is to mix it in a semi-microbioactivator, which shreds and converts the fermented waste into useful material.

Budi said the organic fertilizer had been tried out at all parks in the complex and it was proven that many types of plant, tree and flower could become fertile.

Dhony Rahajoe, head of urban infrastructure at Indonesian Real Estate (REI) said it was hoped that BSD's integrated waste treatment installation would develop into one of the main organic fertilizer producers in Tangerang.

He said that, currently, the garbage handling system, as applied across the country, merely shifted problems from one place to another, with no thought of saving the environment.

"We have to change our approach to embrace recycling, not just collection and dumping. If BSD had not taken the initiative to build such a vital facility, garbage problems like those faced by Bandung municipality and Jakarta would also have occurred here," he said.

Tangerang regency's 3.4 million people produce at least 6,290 cubic meters of household garbage per day, but only 3,080 cubic meters can be transported to a final dumpsite.

Dhony said garbage was a problem that all cities across the country have to deal with and the root cause of the problem was the different perceptions on garbage of the government, businesspeople and community.

"Recycling schemes at the neighborhood level are needed to reduce the volume of rubbish produced by residents, but there was still little support available," he said.

Most communities still wonder why they have to spend money on garbage treatment. The government, on the other hand, has yet to think of environmental protection costs and most businesspeople do not care about garbage problems.

There seems to be a definite lack of political will from local governments to operate recycling and composting schemes. (September 26, 2006)

No comments:

FEEDER

Keladi Tikus Obat Kanker

Keladi Tikus Obat Kanker

Kanker Bukan Lagi Ancaman

Penyakit kanker sudah tidak lagi jadi ancaman yang mematikan bagi kehidupan manusia sebaba para penderita kanker kini memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “Keladio Tikus” (Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lainnya.

Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia.

Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Chris Teo K.H, yang juga pendiri Cancer Care Penang dari Universiti Sains Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.

“Sebelum menjalani kemoterapi, dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,” jelas Patoppoi.
Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker.

“Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysiauntuk membeli teh tersebut,”ujar Patoppoi yang juga ahli biologi.

Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996.

“Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia ,” kenang Patoppoi sambil tersenyum.

Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya.

Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu.

Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi.

Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat.

Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu.

Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni.

Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta ,” kata Patoppoi.

Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi.

Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.

”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa.

Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasik an bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia .

Kemudian Dr . Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia.

Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang.

Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut.

Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo.

Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos.

Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif.
Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang. Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia .

Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya.

Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia , yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta , telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo.

Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. Sumber (Milis Alumni Smandel)

Visitor's Count