Thursday, February 14, 2008

PEOPLE: Winarto A Rosul


Helping Tangerang families de-junk their lives

Multa Fidrus
The Jakarta Post, Tangerang

Rummaging through the piles of secondhand goods at the Flohmak flea market in Bumi Serpong Damai (BSD) in Tangerang puts smiles on the faces of people every weekend, from the young to the old.

Go to Granada Square in BSD on Saturday or Sunday and look for Flohmak, a market established by Winarto A Rasul, a former interior designer for BSD's model houses who spent eight years living in Vienna, Austria.

There are no dresses in the latest styles or shiny new electrical appliances to be found, but customers' enthusiasm shines through. The market breathes life and brings color into the upscale housing estate because it was planned with flair.

Winarto said that as society became more consumer oriented, there was an enormous amount of junk building up in people's homes.

"People tend to store their old furniture and goods if they have empty rooms at home. But the piles of used goods can really become a problem when there is no space left," he told The Jakarta Post in a recent interview.

On the other side, there are still many people who can only afford secondhand goods, Winarno said.

He said that since the market opened in April 2006 there had been a growing number of visitors each weekend, as well as droves of would-be vendors requesting spaces.

The main thing that is different about the Flohmak is the vendors themselves. They are not professional vendors, but individuals and families who are sick of the piles of junk lying around their homes, Winarto said.

"Anyone is welcome to bring their old things here to sell," he said, adding that Flohmak had become a popular place for families to come on weekends.

Winarto, who also runs a workshop where teak furniture is made, said the idea of opening the flea market was inspired by his own experience in Vienna.

"There is a weekend flea market called Flohmarkt in Wina. I thought there was no flea market like that here, so I opened one here soon after I returned from my travels," he said.

He said there were many large housing complexes in Tangerang and he was sure that if he opened a flea market, the response would be positive.

At Flohmak, market regulations and pricing standards are non-existent because tenants can freely name the prices of their goods and buyers are welcome to bargain.

"Tenants can also show only the pictures of larger items because there is not enough space. Buyers have to go to the tenants' houses to pick up their purchases," he said.

Flea markets can be central to urban life, and Flohmak has given new energy to entrepreneurship and to family recreation in the BSD.

A surprising range of pre-loved items can be found at Flohmak, including furniture, electronic devices, kitchen appliances, clothes, shoes, ornaments, musical instruments, sports equipment, antique clocks, wristwatches, books and toys.

This colorful but practical range of homeware, electronics and other goods -- with nothing more than starting prices attached -- puts warmth and cheer back into the shopping experience, something that is missing from our cold malls and plazas.

Born in Yogyakarta in 1956, Winarto stayed there until leaving the National Technology Academy and the Yogyakarta Tourism Board.

Before switching to the furniture business, he worked as a tourist guide and a journalist with a weekly paper published by Exponent 66 in Yogyakarta.

When his furniture business suffered during the 1997 monetary crisis, Winarto decided to move to Vienna to accompany his wife who was recruited as the first Indonesian to work as an atomic inspector at the International Atomic Energy Agency (IAEA).

While in Vienna, Winarto managed to build good relationships with people from all walks of life through Miliswina@yahoogroups.com, a mailing list for Indonesians living in Europe, of which he was the moderator.

"The mailing list was a good means of control against the Indonesian diplomatic corps in Vienna because every member could freely post their criticism," he said.

Regarded as having made both social and economic contributions to the Austrian government, Winarto was given a house by the Austrian government for his success in building ties between the Indonesian community in Vienna and the locals.

As an antiques collector and trader during his eight-year stay in Viena, Winarto had the opportunity to travel to many countries in Europe.

His travels inspired him to write a romance trilogy, Setangkai Bunga Mawar di Tepi Donau (Talk of Roses on the Banks of the Donau). The Donau is a river that flows from the Black Forest in Austria to the Black Sea.

The trilogy consists of books respectively entitled First Experience, The Netherlands, the Land of Hope and Honeymoon at St. Bee's.

"The books were on the verge of being published in 2004 when an earthquake hit Yogyakarta, destroying all files and materials," he said, adding that luckily he had stored a copy on his USB.

His marriage to Endang Susilowati, who now works as a nuclear researcher at the National Atomic Agency (Batan) in Serpong, has given him three children who are grown up.

Winarto hopes to develop the Flohmak into a BSD city landmark, a full-time flea market integrated with a public library, family recreation facility, food court and other supporting facilities.

"I can attract many tourists from overseas if this idea materializes. But it all depends on PT BSD's willingness to provide five hectares of land for the landmark," he said. (January 18, 2008)

No comments:

FEEDER

Keladi Tikus Obat Kanker

Keladi Tikus Obat Kanker

Kanker Bukan Lagi Ancaman

Penyakit kanker sudah tidak lagi jadi ancaman yang mematikan bagi kehidupan manusia sebaba para penderita kanker kini memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “Keladio Tikus” (Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lainnya.

Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia.

Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Chris Teo K.H, yang juga pendiri Cancer Care Penang dari Universiti Sains Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.

“Sebelum menjalani kemoterapi, dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,” jelas Patoppoi.
Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker.

“Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysiauntuk membeli teh tersebut,”ujar Patoppoi yang juga ahli biologi.

Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996.

“Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia ,” kenang Patoppoi sambil tersenyum.

Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya.

Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu.

Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi.

Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat.

Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu.

Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni.

Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta ,” kata Patoppoi.

Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi.

Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.

”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa.

Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasik an bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia .

Kemudian Dr . Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia.

Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang.

Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut.

Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo.

Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos.

Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif.
Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang. Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia .

Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya.

Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia , yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta , telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo.

Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. Sumber (Milis Alumni Smandel)

Visitor's Count