Thursday, July 24, 2008

Kuei Pin Yeo: Dedicated educator who is committed to creating high-quality young musicians



Multa Fidrus, The Jakarta Post, Tangerang



The Jakarta International Summer Music Festival (JISMF) was in fact not merely an assembly of diverse and outstanding groups of talented young musicians, music teachers and visiting international artists as it was expected to be.
More than that, the two-week event had also given a significant transformation to the characteristic of students at Jakarta Musical School (SMJ) in fact.

“What makes me very impressed and proud of the festival was that silent students turned to be talkative and those who where shy and scared appeared to be self confident through the festival,” pianist Kuei Pin Yeo told The Jakarta Post in an interview at SMJ campus in Bumi Serpong Damai (BSD) satellite city on Tuesday.

Yeo, artistic and music director as well as the initiator of JISMF said the festival held from June 21 to July 5 was merely expected to give talented young musicians an opportunity to learn from noted musicians and teachers from several other countries who have had experience in musical creativity.

The school invited Andrew Massey and Lisa Laskowich from the U.S. ; Pamela Wedgwood from the U.K. ; Arten Konstantinov and Gleb Dontzov from Russia ; Ichiro Kato from Japan ; Leanne Nicholls from Australia ; Olivia Skwara from Poland including Yeo’s husband who is Indonesian director of strings Jap Tji Kien.

They guided the participants in intensive but pleasant musical activities comprising individual lessons, master classes, workshops, chamber music, musical theater workshops, improvisations, choir, music appreciation, concerts and orchestral activities.

The event also introduced improvisation workshops and musical theater to the participants. Dozens of participants from various regions were taught how to design and create their own works through this workshop.

Students also learned from videos featuring musical theater shows from Broadway, such as The Producers, Chicago , Rent, Wicked and The Lion King. The participants will learn how to play roles for musical theater.

The musical productions put together from the training were be staged in the JISMF Gala Concert at the closing of the festival at the Jakarta Art Building in Central Jakarta .

SMJ which now has four learning centers besides the main campus in BSD is managed by the Jakarta Music Foundation, which was established by Kuei Pin Yoe in 1983.

As a dedicated educator whose unceasing efforts to bring world-class music education to Indonesia , Yeo also established the International Music Conservatory of Indonesia in early this year.

She is committed to producing high-quality young musicians who are well prepared in music performance and skills.

“Only this (dedication) what I can give back to the country where I was born, grew up and spend the rest of life” she said, adding that she Thanks to God because she always gets a balance in developing musical education in the country and performing at international concert stages.

Yoe was born in Jakarta in 1954. It was her mother who had mostly played important role in supports to her musical talent with high discipline to exercise.

Being the only girl in a family of four children, her parents supported her love for music and her decision to use music as a platform to realize her visions and duties as a musician and educator.
“I clearly remember when I was five years old. My parents bought a used piano for me and I began to seriously learn the music when I turned seven,” said Yoe who aspired to become a civil engineer.

Yeo managed to attribute her conviction in maximizing her potential to her parents, who encouraged her to achieve the highest possible degree and she could prove it since elementary school.

After graduating from senior high, she was registered as a technical engineering student the Trisakti University .

Just a few months later, she left Trisakti because scholarship offer from the Manhattan University summoned her to study music in the USA .

She spent nine years of musical studies at the Manhattan School of Music in New York . When she retuned to the country, she became the first Indonesian to obtain a doctorate in Music (piano performance).

Yeo who can fluently speak in Mandarin and English, believes that striving is always the best for the better.

Her concerts have drawn praise in Europe , America and Asia . The New York Times, on the occasion of her Carnegie Hall recital debut, hailed her as both a polished technician and responsive musician, and even praised for her elegantly detailed, immaculate and musically direct interpretation.

According to Yeo, music begins to have a good prospect in the country since the mindset of most Indonesian people had also begun to shift forward.

“Most parents used to insist on their children to study the subjects the parents wanted but now many parents began to understand and even support children’s choice to study based on their talents.”

“I wish Indonesia could have a good standard of music and we could be proud of the achievement in musical scene and one day we could have a good orchestra like those in the developed countries,” she said.

She said good orchestra could not be established and survive without the attention of the government because orchestra needs a permanent place for exercise and concerts. It also needs spectators.

“To provide a permanent building for exercising, concerts and familiarize people with the classical music is the role of the Culture and Tourism Ministry. I am very concerned because skyscrapers continue to grow in the capital but not an orchestra building,” she said.Her marriage with Jap Tji Kien in 1983 has given them a couple of children Anthony Jaya, 22 and Stephanie Jaya, 18

No comments:

FEEDER

Keladi Tikus Obat Kanker

Keladi Tikus Obat Kanker

Kanker Bukan Lagi Ancaman

Penyakit kanker sudah tidak lagi jadi ancaman yang mematikan bagi kehidupan manusia sebaba para penderita kanker kini memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “Keladio Tikus” (Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lainnya.

Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia.

Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Chris Teo K.H, yang juga pendiri Cancer Care Penang dari Universiti Sains Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.

“Sebelum menjalani kemoterapi, dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,” jelas Patoppoi.
Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker.

“Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysiauntuk membeli teh tersebut,”ujar Patoppoi yang juga ahli biologi.

Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996.

“Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia ,” kenang Patoppoi sambil tersenyum.

Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya.

Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu.

Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi.

Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat.

Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu.

Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni.

Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta ,” kata Patoppoi.

Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi.

Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.

”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa.

Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasik an bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia .

Kemudian Dr . Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia.

Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang.

Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut.

Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo.

Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos.

Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif.
Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang. Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia .

Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya.

Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia , yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta , telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo.

Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. Sumber (Milis Alumni Smandel)

Visitor's Count