Monday, April 21, 2008

PEOPLE: Yunus Arifin: Bringing jazz to the community


Friday, April 18, 2008
Multa Fidrus
The Jakarta Post, Tangerang


Jajan Jazz might be a relatively new music community, but since its first performance two years ago, it has gained solid ground on the music scene.

The man behind the jazz community, Yunus Arifin, said the aim of Jajan Jazz was to simply bring music to the people with no strings attached or ticket fees.

Since March 2006, Jajan Jazz has regularly taken the stage at Taman Jajan public park in Bumi Serpong Damai (BSD) satellite city, Tangerang, on the first Thursday of every month.

Jajan Jazz, which celebrated its second anniversary last month, not only offers a training stage for youth but also gives talented musicians the opportunity to showcase their work.

More than that, Yusuf said, the community aims to build a community of jazz lovers by introducing people to jazz.

"We will continue maintaining the community and atmosphere here ... that's what has seen Jajan Jazz survive and attract more and more viewers and local musicians as well as those from neighboring cities," Yunus told The Jakarta Post.

As the community initiator, Yunus is responsible for Jajan Jazz's survival; this is the reason he refuses to commercialize the show and build business partnerships with sponsors.

Although he is a jazz musician himself, Yusuf prefers to stay backstage, arranging and preparing everything necessary to keep the monthly performance going.

As the performance coordinator, he is responsible for the progress of the Jajan Jazz community and he makes future plans for the community's performances.

"In the first year, we struggled to build the community itself ... and in the second year, we restructured all the administrative matters concerning the performances and the rules of play," he said.

Born in 1963, Yunus, the father of a son from his marriage with Rinawati, graduated from a senior high school in Medan, North Sumatra.

He then moved to Jakarta and worked for a Mercedes Benz distributor who later sent him to Germany.

After returning from Germany, Yunus began to run various businesses and spent time building up the Jajan Jazz community.

Entering its third year, he said the Jajan Jazz community is now focusing its attention on improving performance content for future shows.

"If it all works out this year, we will host a jazz festival at Taman Jajan in our fourth year and regenerate in the fifth year," he said.

Jajan Jazz was first introduced to the public early in March 2006 in BSD, as part of a plan to provide free, spontaneous street music to the satellite city's residents.

Thursday was the day picked to stage the monthly performances because most of the musicians had commercial shows booked for the weekends and were not available to play on other days.

The musicians and stage crew are not paid for the performances; even the sound system is provided for free by community members.

Yunus first got the idea for Jajan Jazz around four years ago, when he and his neighbors -- guitarist Morgan Sigharlaki and drummers Harimurti, Robby and Tofan -- got together to talk about music in the neighborhood.

The following day, they gathered and brought their own instruments to the street and played music.

One day, a neighbor held a circumcision party for his son and invited the men to play live music in his home.

At the party, Yunus and his friends were forced to stop playing their music following complaints from another neighbor who had a sick child.

Idham Muchlis, the neighborhood unit chief, then suggested the group find the right place to perform regularly without disturbing other people in the neighborhood.

Taman Jajan, which has an open stage, proved to be the best choice. The BSD management got on board and supported the establishment of the jazz community, saying it added value to the satellite city.

"So, that's why the community was later named Jajan Jazz," he said.

Two years on, Jajan Jazz has managed to attract fans from outside of BSD, including from Jakarta, Yogyakarta, Bekasi and Bandung.

The Jajan Jazz community also made an appearance at the Jakarta Jazz Festival, which was held at the Senayan Sports Stadium last year. Three groups -- Mawarnih, Pro Rejected and Bianglala Voices -- were selected to represent the Jajan Jazz community.

Keyboardist Abadi Soesman, drummer Rudi Subekti, bassist Jeffry Tahalele, percussionist Risto and singer Aska Daulika have also made the time to jam for free on the Taman Jajan stage.

Noted guitarist Ireng Maulana, veteran jazz musicians Benny Likumahuwa and Kibord Maulana, singers Berta, Irma June, Johan Untung, Billy Likumahua, Vonny Sumlang, Emil S Praja, Cendy Lutungan, Mike Embong, Benny Mustafa, Tiwi Shakuhachi, Bibus and others have also performed on the Taman Jajan stage.

"So far, we have featured 50 talented junior groups in the area, including the Jakarta Deutsche Internationale Schule, Zinnia, Santa Ursula, New Breez, Jazzi Ponic, Tiga Mawarnih, Pro Reject, Bianglala Voice, Free Flow and Yogyakarta-based Travel band," he said.

Since the community was first launched, there have been free performances from 9 p.m. to midnight on the first Thursday of every month.

"Jajan Jazz will remain free of charge for all fans, and this is the main reason why we refuse sponsorship," Yunus said.


printer friendly

No comments:

FEEDER

Keladi Tikus Obat Kanker

Keladi Tikus Obat Kanker

Kanker Bukan Lagi Ancaman

Penyakit kanker sudah tidak lagi jadi ancaman yang mematikan bagi kehidupan manusia sebaba para penderita kanker kini memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “Keladio Tikus” (Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lainnya.

Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia.

Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Chris Teo K.H, yang juga pendiri Cancer Care Penang dari Universiti Sains Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.

“Sebelum menjalani kemoterapi, dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,” jelas Patoppoi.
Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker.

“Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysiauntuk membeli teh tersebut,”ujar Patoppoi yang juga ahli biologi.

Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996.

“Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia ,” kenang Patoppoi sambil tersenyum.

Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya.

Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu.

Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi.

Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat.

Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu.

Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni.

Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta ,” kata Patoppoi.

Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi.

Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.

”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa.

Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasik an bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia .

Kemudian Dr . Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia.

Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang.

Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut.

Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo.

Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos.

Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif.
Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang. Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia .

Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya.

Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia , yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta , telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo.

Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. Sumber (Milis Alumni Smandel)

Visitor's Count