Wednesday, October 31, 2007

DISCIPLINE : Public Minivan Drivers

Why drivers ignore traffic signs
The Jakarta Post : CITY News
By Multa Fidrus
JAKARTA (JP): When the traffic light turns right, he sometimes does not stop; but he often stops at busy intersections or where a no-stopping sign is displayed.

Herman, 29, a driver of a public minivan serving the Kampung Melayu-Pasar Minggu route, acknowledged that he had violated traffic regulations many times. He realizes that he has often caused traffic congestion when stopping on a busy street to wait for passengers, but he refused to take the blame.

"Passengers are usually reluctant to get into the van at the right place since they are too lazy to walk," he told The Jakarta Post while waiting for passengers at Cawang Bawah intersection, East Jakarta. He did not move his vehicle, even when the light turned green.

Herman blamed the passengers, saying they played the main role in prompting public transportation drivers to violate traffic regulations.

"They stop minivans at any place for practical reasons, while we are looking for money and we don't want to lose them. That's why we pick them up from wherever they wait," said the father of three children.

He said not only him, but many other drivers did the same thing when there was no police officer around.

He said he had been ticketed by the police several times for breaking traffic rules. However, he was not afraid, and said he did not even have to go to the police station.

"There is a middleman specializing in dealing with the matter, to the return of our driver's license when it is held by the police," he said, adding that he just needed to tell him at which police substation his driver's license was being held.
He pays Rp 10,000 for the service.

Slamet, 38, a driver of a Metromini bus plying the Pasar Minggu-Cililitan route, said he had been repeatedly ticketed and had no problem in getting his driver's license back. He displayed no guilt, saying that all urban public transportation drivers were the same. He and other drivers always stop and wait for passengers at a narrow interchange after passing the railway crossing near Kalibata Railway Station in South Jakarta, where a no-stopping sign stands.

"We are waiting for passengers from the trains," he said, adding that there were no police at the site.

Vehicles behind the buses are unable to move. Sometimes motorists get stuck on the railway crossing -- a very dangerous position to be in as a train can pass at any time.

Violations of traffic regulations happen in all parts of the city. Mustofa, 44, a Metromini bus driver, always stops and waits for passengers at the traffic light across from the East Jakarta Police station on Jl. Matraman, while police officers turn a blind eye to the situation.

Half of Jl. Matraman is occupied by street vendors, so there is only one lane left for motorists heading toward Jatinegara from Jl. Matraman. Since Metromini buses and minivans heading to destinations in East Jakarta from the Kampung Melayu bus terminal stop and wait for passengers there, heavy traffic congestion happens daily.

Mustofa said the traffic light was the most strategic point to wait for passengers boarding his bus. Another spot where Metromini bus drivers frequently wait for passengers is the traffic light at Prumpung intersection near the Jatinegara Railway Station, he said.

Iswadi, 49, a driver of a bus serving the Kampung Melayu-Grogol route in West Jakarta, seldom pulls over to the side of the road to pick up or drop off passengers.

"It takes more time to stop on the roadside. Yet, I have never been ticketed by the police for doing so," he told the Post while driving the bus.

While there are obviously undisciplined passengers who stop buses anywhere and a lack of bus stops in the city, Meizir, 41, a commuter who always uses public transportation, complained about drivers' attitude.

"They usually argue that they have to rush in order to get money to cover the bus rental when they violate regulations, but they intend to break the law anyway," said Meizir, who lives in Rawabunga subdistrict, East Jakarta.

He also blames public transportation companies who never upgrade their drivers' skills.
He suggested that the police cooperate with operators of public transportation to regularly run courses for drivers in a bid to improve their discipline and awareness of the rights of other road users.

Meanwhile, a Mobile Brigade police officer assigned to help direct traffic in front of the East Jakarta Police Headquarters said last weekend that both public transportation drivers and commuters were equally at fault.

"They both just want everything easy and practical without considering the impact of their deeds," said the second inspector, who asked not to be named.

He said that the behavior of drivers and commuters "complimented" each other.

"If passengers waited for public vehicles at designated stops, drivers would follow them.
"If drivers did not stop at inappropriate places, passengers would move to the right place," he said.

"It is impossible for the police to watch drivers all the time. Police control is no solution, but improving the drivers and holding discipline campaigns for the community may help improve their discipline and awareness," he said.

He said nothing about unscrupulous traffic police officers who take bribes from undisciplined drivers, which also does not help curb traffic violations. (July 07, 2001

No comments:

FEEDER

Keladi Tikus Obat Kanker

Keladi Tikus Obat Kanker

Kanker Bukan Lagi Ancaman

Penyakit kanker sudah tidak lagi jadi ancaman yang mematikan bagi kehidupan manusia sebaba para penderita kanker kini memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “Keladio Tikus” (Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lainnya.

Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia.

Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Chris Teo K.H, yang juga pendiri Cancer Care Penang dari Universiti Sains Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.

“Sebelum menjalani kemoterapi, dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,” jelas Patoppoi.
Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker.

“Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysiauntuk membeli teh tersebut,”ujar Patoppoi yang juga ahli biologi.

Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996.

“Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia ,” kenang Patoppoi sambil tersenyum.

Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya.

Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu.

Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi.

Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat.

Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu.

Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni.

Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta ,” kata Patoppoi.

Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi.

Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.

”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa.

Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasik an bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia .

Kemudian Dr . Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia.

Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang.

Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut.

Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo.

Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos.

Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif.
Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang. Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia .

Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya.

Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia , yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta , telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo.

Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. Sumber (Milis Alumni Smandel)

Visitor's Count