Wednesday, October 31, 2007

13 on death row for drug crimes

The Jakarta Post CITY News
Friday, August 31, 2001

By Multa फिदृस

JAKARTA (JP): In the past 18 months, the Tangerang District Court has surprisingly handed down death sentences to 13 defendants in drugs offenses.
Another suspect is facing a life sentence, and will likely soon receive capital punishment as well.
Most of them were arrested at Soekarno-Hatta airport as they attempted to smuggle drugs into the country from Pakistan, India and Thailand.
Three of those on death row are Indonesians: Deni Setiawan Maharwan, 28, Rani Andriani, 25 and Meirika Franola, 31. The others are five Nepalese, three Nigerians, one Zimbabwean and one Angolan. The one facing a life sentence is a Malawian.
The amount of the drugs found on the defendants varied, from 554 grams of heroin to 3.8 kilograms of heroin.
The reaction of the defendants also varied.
"I will kill you all, I am innocent," Samuel Iwu Chekwu Okeye, 30, yelled after the court presented the verdict last July.
The Nigerian was found guilty of smuggling 3.8 kilograms of heroin from Madras, India, on Jan. 9, 2000.
Prosecutor M. Adam had sought a life sentence for the defendant.
As a matter of fact, there was only one defendant who had earlier faced a prosecutor asking for a death sentence. For the others, prosecutors had sought either a 15-year-jail term, or a life sentence.
In the most recent cases, prosecutors requested a life sentence for two Nigerians, Okwudili Ayotanze, 31, and Hansen Anthony Nwaliosa, 33, a Zimbabwean, Ozias Sibanda, 33, and Thomas Daniel, a 28-year-old Angolan.
Okwudili smuggled into the country 1,150 grams of heroin from Pakistan on Jan. 20, while Hansen smuggled 600 grams of heroin, also from Pakistan, on Jan 30.
Also in January, Indra was arrested for smuggling 2,364 grams of heroin from Thailand, while Ozias was found smuggling 900 grams of heroin from Pakistan.
On Aug. 13 this year, the court meted out capital sentences to the four foreigners.
"This is the stupidest thing I have ever done in my life," Ozias told The Jakarta Post after he heard the verdict.
"I was simply hoping to earn US$3,000 to feed my wife and my children, I dared to swallow 54 capsules containing 850 grams of heroin. Instead of obtaining money, I face death," he said behind the bars at the court building.
He said he could not sleep most nights, since prosecutors had repeatedly told him that he would likely be sentenced to death, even though the prosecutor himself had "only" sought a life sentence.
"Please, send my apology to my wife and children and to all Indonesians," he said, with his eyes close to tears.
The Tangerang District Court chief, Haogoaro Harefa, told the Post that the harsh sentences are being imposed in order to curb drug cases.
He said that none of the judges had received threats or been intimidated so far in connection with the verdicts.
Award
"Instead we received numerous telephone calls and letters stating support and even an award from an NGO," Harefa said.
The House of Representative Commission II on legal affairs also praised the verdicts.
"We were surprised upon learning that the court had sentenced to death a dozen drug smugglers. We hope other courts will follow such brave decisions," Hamdan Zulvan, who led eight other Commission members, told the Post during a visit to the court early this month.
Unfortunately, he added, only one percent of drug traffickers are reached by the law.
Chief of the Tangerang prosecutor's office Poerwosudiro stated that prosecutors had asked for the death sentence for only one defendant from 14 major drug cases handled by the office in the past 18 months.
"But as prosecutors, we are ready to execute the verdicts in case the convicts do not file further legal submissions. To execute the verdicts, of course, we have to await the instruction from the Attorney General's Office," he told the Post.
Meanwhile, human right lawyers Todung Mulya Lubis expressed skepticism that capital sentences would curb the number of drugs cases in the country.
Amid concern about drug abuse that had claimed many victims in the country, Todung said that although it was in order for judges to mete out the maximum punishment, he disagreed with the death penalty since it was against human rights principles.
He also regretted that such stern punishment had not reached real major drug traffickers.
"Those given the death penalty were only the couriers, not the real drug bosses.
"Is such punishment fair? The problem is that we have never seen a serious attempt or successful operation carried out against drug trafficking," he told the Post.
He added that major drugs dealers had mastered much more sophisticated methods and information technology in trafficking so that it was impossible to expect law enforcers to be able to eradicate drug syndicates unless the government instituted total reform in every law enforcement institution.
printer friendly

No comments:

FEEDER

Keladi Tikus Obat Kanker

Keladi Tikus Obat Kanker

Kanker Bukan Lagi Ancaman

Penyakit kanker sudah tidak lagi jadi ancaman yang mematikan bagi kehidupan manusia sebaba para penderita kanker kini memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “Keladio Tikus” (Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lainnya.

Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia.

Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Chris Teo K.H, yang juga pendiri Cancer Care Penang dari Universiti Sains Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.

“Sebelum menjalani kemoterapi, dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,” jelas Patoppoi.
Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker.

“Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysiauntuk membeli teh tersebut,”ujar Patoppoi yang juga ahli biologi.

Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996.

“Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia ,” kenang Patoppoi sambil tersenyum.

Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya.

Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu.

Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi.

Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat.

Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu.

Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni.

Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta ,” kata Patoppoi.

Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi.

Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.

”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa.

Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasik an bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia .

Kemudian Dr . Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia.

Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang.

Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut.

Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo.

Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos.

Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif.
Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang. Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia .

Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya.

Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia , yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta , telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo.

Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. Sumber (Milis Alumni Smandel)

Visitor's Count