Friday, May 2, 2008

BSD shifts dreams to 'satellite' education center

Multa Fidrus , The Jakarta Post , Tangerang Sun, 04/27/2008 Discover

After its success at keeping its dreams on track in developing some 1,500 hectares into a "self-sustaining city" within 20 years,*Bumi Serpong Damai (BSD) - the key property developer of the same-name district in Tangerang - now has another dream: to become a satelite city of education.

Residents of BSD take a breather on benches at Taman Kota I, a public park and lung of the satellite city in Tangerang regency. (JP/Multa Fidrus)

"So far, only Atmajaya Catholic University has confirmed it will build a new campus in BSD, while negotiations with four other noted universities are still under way," BSD marketing director Rano Jap told The Jakarta Post recently.

He said BSD had started building infrastructure such as access roads and bridges to a 1,000-hectare plot on the western banks of the Cisadane River, which is to house educational centers, residential areas and a new central business district. Each zoning division is to represent a separate theme.

Rano said BSD was committed to its initial principle that every development must be better than the previous oneand without ignoring the environmentally friendly development concept it had implemented since the outset.

"As the pioneering self-sustaining city developer in the country, BSD is not merely real estate, but a city of communities that have been well-planned and well-structured in the hands of international, master city planners," he said.

Rano claimed BSD's current expansion project to be the largest among similar property projects ever developed in Greater Jakarta. The western development is expected to be completed within six years.

The potential relocation of the five universities will undoubtedly cement BSD's educational brand image, as the satelite city is already home to several international schools, such the Swiss German Unversity (SGU), the Deutsche International Schule (DIS), Bina Nusantara University and the Banten Nursing Academy.*

"Besides that, there are dozens of kindergartens, 25 elementary schools, 19 junior high schools and 14 senior high schools here," said Rano.

According to him, the BSD master plan is in line with the Tangerang administration's plans to build a new turnpike from BSD to the Soekarno-Hatta International Airport and an alternative access road that will link BSD with the Jakarta-Merak turnpike, via Gading Serpong and Lippo Karawaci.

"Therefore, we are optimistic that our dreams of a satelite city that is also a center of education will materialize, and that this will open great opportunities for future investment in education," he added.

Of course, a self-sustaining city should not only comprise public facilities such as roads, shopping malls, a transportation system, parks, schools, hospitals, sports arenas and family recreation and entertainment venues, but also must provide a sustainable, rising living standard that can be inherited by the future generation.

" BSD is always developing innovations to support the quality life and fulfill all human needs," said BSD corporate communications general manager Idham Muchlis.

Under management of the Sinar Mas Group, Idham said that BSD -which is located some 30 kilometers west of Jakartahad revised its plans for a satelite city into developing an integrated area of economic growth, education and job opportunities.

"BSD has been designed to meet all the needs of its residents, including housing, office buildings and jobs, so there will be no need to commute to other areas (of Greater Jakarta) to earn a living," Idham said.

Launched in January 1989, BSD covers 6,000 hectares of land, some 1,500 hectares (25 percent) of which has been developed into East BSD, comprising residential housing complexes, warehousing areas and business districts.

The city, which could be reached only via the Jakarta-Merak turnpike previously, has become more strategic since the opening of the Serpong-Pondok Indah turnpike in 2006 and the double-track railway last year.

"So far, we have built 25,000 houses and 90 percent of them are occupied by some 100,000 people," said Idham, adding that the target development is 150,000 houses to accommodate 600,000 people.

New houses in the city range fom standard to medium and excellent types at the Taman Telaga Golf, Victoria River Park, Taman Provence, Vermont, The Green and De Latinos housing complexes, with prices*ranging from Rp 360 million (US$39,000) up to Rp 3 billion ($326,000).

The ongoing property developent project includes the Sinar Mas World Schools, the Green Cove, Foresta and Sevilla complexes, Eka International Hospital, Bidex - commercial shop houses for interior design and constructiona cyber-green office complex, a public park and wide pedestrian walkways, as well as*high-speed broadband and wi-fi coverage, all located next to the German Center on Jl. Raya Serpong.

"Big shopping malls such as ITC, BSD Junction, BSD Plasa, Modern Market, the newly opened Ocean Park Water Adventure ... athletic club houses and the 18-hole Damai Indah Golf court, designed by American architect Jack Niklaus, are all built according to the family recreation and entertainment concept," Idham said.

BSD residents have also established a number of community groups that provide a forum for sharing recreational and hobby interests, such as the Bakti Keluarga BSD, Jajan Jazz, Mountain Bikes, Decorative Plants and the Taichi Gymnastic community groups.

To prove its committment to green development, BSD has built an open green space with millions of trees.

The 2.5-hectare Taman Kota I park and the 9-hectare Taman Kota II both serve as the satellite city's lungs while offering comforatble recreational and athletic sites, including 26 artifical lakes that provide a total 23-hectare water catchement area.

"We have also built modern infrasructure such as underground electricity cables and wireless telecommunication systems ... that contribute to residents' comfortable living," said Idham.

No comments:

FEEDER

Keladi Tikus Obat Kanker

Keladi Tikus Obat Kanker

Kanker Bukan Lagi Ancaman

Penyakit kanker sudah tidak lagi jadi ancaman yang mematikan bagi kehidupan manusia sebaba para penderita kanker kini memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “Keladio Tikus” (Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lainnya.

Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia.

Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Chris Teo K.H, yang juga pendiri Cancer Care Penang dari Universiti Sains Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.

“Sebelum menjalani kemoterapi, dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,” jelas Patoppoi.
Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker.

“Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysiauntuk membeli teh tersebut,”ujar Patoppoi yang juga ahli biologi.

Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996.

“Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia ,” kenang Patoppoi sambil tersenyum.

Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya.

Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu.

Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi.

Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat.

Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu.

Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni.

Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta ,” kata Patoppoi.

Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi.

Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.

”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa.

Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasik an bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia .

Kemudian Dr . Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia.

Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang.

Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut.

Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo.

Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos.

Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif.
Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang. Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia .

Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya.

Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia , yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta , telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo.

Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. Sumber (Milis Alumni Smandel)

Visitor's Count